Minggu, 15 Agustus 2021

SEJARAH SAINS DALAM ISLAM

 Kata “Sains” berasal dari bahasa latin “Scientia” yang berarti pengetahuan. Dari webster new collegiate dictionary definisi sains adalah “pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian” atau “pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum-hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah. 

Sains merupakan suatu kajian yang bersifat teoritis, empiris, dan pengetahuan praktis tentang segala fenomena alam. Pada mulanya, sains merupakan suatu kajian yang menggunakan metode historis, sejarah intelektual, dan sejarah sosial namun istilah science baru diperkenalkan oleh William Whewel pada abad ke-19.

Sains atau yang biasa disebut dengan Ilmu Pengetahuan merupakan suatu kajian lanjutan dari pengetahuan. Pada mulanya, pengetahuan adalah suatu usaha yang ditangkap oleh panca indera dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan namun belum menyelami lebih dalam lagi kedala kajian ilmiah, dalam arti lain masih dalam “kepercayaan” saja namun belum menerapkan metode penelitian dengan menggunakan data-data yang valid agar dihasilkan suatu ilmu yang pasti.

2.3 Sejarah Sains dari Masa ke Masa

1. Masa Klasik (Yunani Kuno)

Pada masa ini, segala sesuatu penelitian yang berfokus terhadap alam yang digunakan untuk tujuan yang praktis dalam kehidupan. Masa klasik ini disebut juga sebagai Filsafat Alam. salah seorang tokoh pra-Sokrates, Thales (640-546 SM) dikenal sebagai Bapak Sains yang pertama kali mengungkapkan segala sesuatu hal fenomena yang terjadi di alam bukanlah karena peristiwa supranatural semata melainkan hal-hal yang dapat dijelaskan secara logis.


Pada masa Thales ini merupakan suatu masa peralihan antara masa mitos-mitos menjadi masa logos. Kemudian, ajaran Thales tentang alam ini disebarkan dan diturunkan kepada muridnya, Phytagoras mendirikan sekolah Phytaghorean dan melakukan penelitian dibidang matematika. Phytagoras pula yang pertama kali mengungkapkan bahwa bumi itu bulat. Leucippus (abad ke-5 SM) melanjutka ajaran sains tersebut dengan mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini berasal dari suatu zat yang tak terpisahkan dan kekal disebut atom. Pada masa ini mulai terbukalah pemikiran tentang fenomena alam yang diteliti secara logis. 

Sejarah terbentuknya kajian alam secara ilmiah dimulai pada masa Plato (427-347 SM) dan muridnya, Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles kemudian mengungkapkan bahwa segala kebenaran yang universal bermula dari melakukan observasi dan induksi. Hal ini lah yang akan menjadi dasar dari sebuah metode penelitian ilmiah. Karya-karya Aristoteles yang menyangkut tentang hal biologi yang empiris dan keragaman hidup, selanjutnya tulisan Aristotels banyak tersebar dan dipelajari oleh pelajar-pelajar Islam dan Eropa. 

Beberapa hasil penelitian terhadap alam yakni anatomi, zoologi, botani, mineralogi, geografi, matematika dan astronomi yang terus meluas dengan menerapkan metode matematika dan penelitian empiris. Selanjutnya, metode matematika dan penelitian empiris ini kemudian digunakan pada zaman Helenistik dan terus menyebar hingga pada abad pertengahan yang melahirkan filsuf muslim, hingga masa Renaisans di Eropa, hingga masa sains modern.


2. Masa Abad Pertengahan 

Perjalanan pengembangan ilmu sains tidak hanya berhenti sampai pada masa Yunani saja. Ajaran dan metodologi dalam penelitian sains berkembang dan menyebar hingga menyentuh kekhalifahan Muslim di Timur dan Selatan. 


Pada mulanya, hal ini dilatarbelakangi dengan peristiwa Perang Salib dan Invasi Mongol yang kemudian membuat orang-orang Eropa sementara untuk tinggal di wilayah Timur, mempelajari tentang sains yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim hingga mereka kembali ke Eropa dan meneybarkannya. Selain itu, pengaruh islamisasi di Spanyol pun turut menjadi faktor penyebaran sains hingga ke Perancis. 

Pada abad Pertengahan ini juga berpengaruh oleh Eropa. Masyarakat Eropa banyak belajar tentang tanaman dan astronomi bersama dengan para ilmuwan muslim. Peristiwa Perang Salib dan Invasi Mongol banyak berpengaruh pada dunia Islam dan juga pada penyebaran sains yang semakin meluas.


3. Sains Masa Modern 

Sains dalam periode modern yang dimulai pada abad ke-19 hingga 20 ini semakin meluas karena sebuah zaman dan teknologi yang semakin canggih. Sains masa modern ini sebetulnya sudah mulai merangkak naik pada masa Renaisans dan terus berlanjut hingga masa modern. Pada masa ini pula disebut sebagai masa Humanisme, dimana sebelumnya ketika filsafat mulai meredup dan manusia diikat dengan aturan gereja tidak ada kebebasan untuk berpikir sesuai dengan ukuran yang dibuat manusia.

Masa modern mulai terpecahnya sains menjadi beberapa cabang ilmu yang terus dikembangkan hingga saat ini. beberapa cabang ilmu tersebut sepertii fisika yang membahas tentang gravitasi alam di bumi dan hukum gerak dikemukakan oleh Isaac Newton (pada tahun 1687) dalam bukunya  Principia Mathematica. Selanjutmya, tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan fisika modern diantaranya  Max Planck, Albert Einstein, Niels Bohr yang dimulai pada tahun 1900. 


Kimia juga berkembang pesat pada masa ini, salah satunya dengan melakukan percobaan gravimetric dengan kimia medis yang dilakukan oleh beberapa tokoh seperti  William Cullen, Joseph Black, Torbern Bergman, dan Pierre Macquer. Antoine Lavoisier (bapak kimia modern) melanjutkan penelitannya dengan pengenalan oksigen dan hukum kekekalan massa. John Dalton pada tahun 1803 mengungkapkan bahwa segaa sesuatu di alam ini berasal dari atom yang tidak dapat terpecahkan dan tidak kehilangan kimia dasar dan sifat fisik dari materi. Periodik elemen kemudian diciptakan oleh  Dmitri Mendeleev pada tahun 1869 berdasarkan penemuan Dalton. 

Perkembangan sains di masa modern ini terus melahirkan beberapa cabang ilmu lainnya seperti geologi, biologi, kedokteran dan genetika, astronomi, dan ekologi. Disamping itu, berkembang pula ilmu sosial seperti ilmu politik, ekonomi, linguistik, psikologi, sosiologi, dan antropologi.

Penemuan hebat dari masa ke masa, dari segala penelitian dan kajian dari yang bersifat sederhana, hanya dengan menggunakan penalaran rasional dan perenungan terhadap alam hingga sampai pada masa canggih dengan melibatkan alat dan metode penelitian yang cukup kompleks agar dihasilkan suatu sains yang dapat digunakan dan membantu manusia dalam mengembangkan intelektualnya. 

2.3 Sejarah Sains dalam Islam dan temuan dari para saintis Muslim

Dinasti Abbasiyah mempunyai rentang waktu kekuasaan yang cukup lama yakni dari tahun 750 M. Sampai tahun 1258 M. Selama rentang waktu kekuasaan itu banyak perbedaan-perbedaan, ini disebabkan oleh perubahan sosial politik dan budaya. Berkat perubahan-perubahan itu, para sejarawan mengklasifikasikan menjadi tiga periode : 

Periode ini dimulai tahun 132 H - 232 H. Kekuasaan periode ini ditangan khalifah.

Mulai tahun 232 H – 590 H. Kekuasaan hilang dari tangan khilafah.

Dimulai tahun 590 H – 656 H. Kekuasaan kembali ke tangan khalifah.

Dinasti ini, dirintis oleh Abu Abbas As-Shaffah dan Abu Ja’far Al-Mansur dan mencapai zaman keemasan pada 7 khalifah setelah nya. 


Zaman ketika sampai masa paling maju dalam semua bidang ilmu pengetahuan ataupun sains sampai kepada puncaknya adalah pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M). Dan putranya Al-Ma’mun (813 – 833 M). Kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesusasteraan, dan semua kebudayaan mengalami kemajuan yang pesat. Pada masa ini, jadi acuan ilmu pengetahuan bagi para pencari ilmu pengetahuan dari seluruh dunia. Dengan adanya “Baitul Hikmah” yang berarti gedung ilmu pengetahuan.

Diceritakan juga, bahwa pada masa Harun Al-Rasyid juga berkembang cabang-cabang ilmu pengetahuan seperti Matematika, Fisika, Astronomi, dan pada bidang kemiliteran turut mengalami perkembangan yang pesat. 

Di Baitul Hikmah ketika jabatan kekuasaan khalifah sudah di turunkan kepada Al-Makmun, ia mengumpulkan berbagai pengetahuan asing, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab.

Senin, 06 Juli 2020

Tafsir Tasawuf : Taubat


Pembahsan
            Sebelum membahas tafsir taubat perpsektif tasawuf adakalnya kita membahas terlebih dahulu apa itu tafsir. Tafsir secara etimoliogi berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsiruan, yaitu menjelaskan dan menerangkan (al-idhah wa al-tabyin). Pandangan ini didsari pada sebuah ayat dalam Al-quran, yaitu dalam surat Al-furqon  ayat 33, berbunyi, Dan Kami tidak mendatangi kamu dengan sebuah perumpamaan kecuali dengan sebuah kebenaran dan tafsir yang paling baik. Jadi tafsir itu penjelasan dan penyikapan. Kalau didalam kamus lisan Al-‘Arab tafsir berarti memperjelas, menyingkap yang tertutup serta menyingkap maksa  sebuah lafadz yang sulit dipahami.[1]
            Secara terminologi tafsir adalah upaya untuk menjelaskan dan menyingkapkan  sebuah lafdz agar sampai pada pemahaman yang tepat. Dalam ayat Al-furqoan yang diatas telah dijelaskan bahwa Al-quran telah menegaskan perihal keterkaitan antara kebenaran (al-haqq) dan penjelasan (al-tafsir) kedua ini tidak bisa dipisahkan dan saling keterkaitan. Para  ulama juga mulai mencoba memahami keterkaitannya dengan Al-quran. Karena yang ditafsirkan bukan kitab biasa, melainkan wahyu yang membawa kebenaran dan pesan kebaikan, maka pendefisinisian atas tafsir dilakukan secara haati-hati. Pandangan para ulama tidak bersifat tunggal, melainkan juga selalu ada perbedaan pendapat dalam mendefisinikan tafsir.[2]
            Para ulama sufi pun ikut serta dalam mendefisinikan tafsir atas ayat-ayat suci pada Al-quran. Tidak lain sufi yang mempunya kata-kata kontroversial ana al-haqq, yaitu Abu Mansur Al-Halaj yang dibunuh dan disalib pada 922, dan dibuang ke sungai Tigris.
            Setelah mengetahui definisi tafsir selanjutkan perlu diketahui terlebih dahulu apa itu taubat. Taubat masuk kedalam maqamat dalam tasawuf. Maqamat yaitu stasiun-stasiun yang harus dilalui oleh seorang penempuh jalan tasawuf (salik). Al-Kalabadzi memberikan pernyataan maqam yang ditempuh oleh seorang sufi terdiri dari tujuh tingkatan, yakni taubat, zuhud, sabar, tawakal, ridha, mahabbah, dan makrifat. Tobat menurut al-Kalabadzi merupakan maqam awal dalam semua maqamat. Kedudukanya laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi bangunan tak dapat berdiri. Tanpa taubat, seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tak akan dekat dengan Allah swt. Taubat dapat diumpamakan sebagai pintu gerbang menuju kehidupan sufistik. Taubat berarti kembali, yaitu kembali dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji, sesuai dengan ketentuan agama.[3]
            Annemarie Schimmle menuliskan dalam bukunya makna taubat, menurut Annemarie Schimmle Taubat adalah persinggahan pertama di jalan atas, atau lebih tepat mula pertamanya, ialah taubat atau “penyesalan”, taubat berarti berpaling dari dosa, melepaskan  semua urusan dunia.  Ada sebua syaiir dalam bukunya Annemarie Schimmle:
            Taubat adalah tunggangan aneh
            Dalam sekejap ia melompat ke sorga dari tempat paling rendah. (M 6: 464)[4]
Hujwiri menggambarkan taubat sebagai kembali dari dosa besar kepada kepatuhan; naba adalah kembali dari dosa kecil kepada cinta kasih, dan auba adalah kembali dari diri sendiri kepada Tuhan.[5]
            Setelah mengetaahui taubat menurut ajaran tasawuf, seperti maqomat, dan pendapat dari para kaum Sufi dan penulis tasawuf, selanjutnya akan lanjut kepembahasan tafsir taubat perspektif tasawuf.
Tafsir Taubat
Tafsir taubat surat Al-A’raf ayat 152-153
            Saya mengutip tafsiran Abi Quraish Shihab, yaitu tafsir Al-Misbah.
            إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ
وَالَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُوا مِنْ بَعْدِهَا وَآمَنُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan. (QS. Al-A’raf Ayat 152). Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Tuhan kamu sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-A’raf ayat 153)
Abi Quraish Shihab menuliskan dalam tafsiranya, setelah ayat 152 menjelaskan sanksi yang akan menimpa mereka yang bertekad dan bekelanjutan kedurhakaanya, dilanjutkanlah ayat itu dengan penjelasan tentang apa yang akan menanti mereka yang menyadari kesalahanya atau yang diistilahkan oleh ayat 149 dengan saqitha fi aidihim (sangat menyesali perbuatannya), yaitu dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan dengan sengaja, kemudian  walau setelah berlalu waktu dan dia bertaubat, yakni menyesal, memohon ampun bertekad untuk tidak mengulangimya serta mengikuti tuntunan Allah dan rasul-Nya sesudah kedurhakaan yang dilakukanya itu dan dengan syarat dia beriman dengan keimanan yang benar, maka sesungguhnya Tuhanmu hai Musa, pasti sesudahnya, yakni sesudah taubat yang disertai dengan iman itu mereka dapati Maha Pengampun sehingga menghapus dosa-dosa mereka lagi Maha Penyayang dengan melimpahkan anugerah kepada mereka.[6] Jadi pada ayat ini terdapata kaum dari nabi Musa a.s yang menyembah lembu, mereka tidak menyembah Allah. Allah telah memberi sanksi kepada mereka apabila mereka terus menyembah apa yang merek sembah itu, kecuali kata Allah Kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan beriman, sesungguhnya Allah menerima taubatnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibnu Katsir menuliskan dalam kitabnya tentang taubat. Terdapat pada surat At-tahrim ayat 8, yaitu
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا 
            Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (Q.S At-tahrim ayat 8)
Oleh karena itu, taubat merupakan ibadah yang sangat agung dan memiliki banyak keutamaan. Lalu apa maksud taubat nasuha sebagaimana yang Allah Swt perintahkan dalam ayat At-tahrim itu?
            Makna pertama: taubat yang murni (ikhlas) dan jujur. Secara bahasa, نصح artinya sesuatu yang bersih atau murni (tidak bercampur dengan sesuatu yang lain). Sesuatu disebut (الناصح), jika sesuatu atau tidak terkontaminasi dengan sesuatu yang lain, misalnya madu murni atau sejenisnya. Diantara turunan kata نصح adalahالنصيحه .[7]
            Berdasarkan makna bahasa ini, taubat disebut dengan taubat nasuha jika pelaku taubat memurnikan, ikhlas (hanya semata-mata untuk Allah), dan jujur dengan taubatnya. Dia mencurahkan dengan segala daya dan kekuatanya untuk menyesali dosa-dosanya yang telah diperbuat dengan taubat yang benar (jujur). Ibnu Katsir menjelaskan makna taubat pada surat At-tahrim ayat 8 ini, katanya
اي توبة صادقة جازمة تمحو ما قبها من الشئا ت وتلم شعت الت عبوتجمعه و تكفه عما كان يتعا طا ه من الد نا ء اتز
            Yaitu taubat yang jujur, yang didasari atas tekad yang kuat, yang menghapus kejelekan-kejelekan masa silam, yang menghimpun dan mengentaskan pelakunya dari kehinaan”.[8]
            Ketika menejelaskan ayat diatas, penulis kitab tafsir Al-jalalain berkata,
صَا دِ قِةً بِا ن لاَ يعا د الي الذِ نب و لا يرا د الءو د اليهَ
            “Taubat yang jujur, yaitu dia tidak kembali (melakukan) dosa dan tidak bermaksud mengulanginya.” [9]
            Taubat adalah proses penyucian diri dari tasawuf taobat dijadikan maqom pertama oleh beberapa ulama sufi. Namun ada juga ulama sufi yang memposisikan taubat bukan di maqom pertama. Ini tidaklah menjadi masalah karena para ulama sufi berbeda pandangan, berbeda perspektif dalam memposisikan taubat. Dalam kitab risalah Qusyairiyah, Syeikh Qusyairi menuliskan tobat dalam surat An-nuur ayat 31, yaitu
و تو بو الي الله جميعا ايةً المؤ منو ن لعلكم تفلحون
            Artinya: “Bertobatlah kamu sekalian kepda Allah wahai orang-orang yang beriman seupaya kamu beruntung,” (Q.S An-Nuur ayat 31)
            Diriwayatkan dari Anas bin Malik[10] bahwa Rasulullas Saw. bersabda
التا ءب من الذيب كَمَن لاَ ذ نب لهُ واذااحبّ اللهُ ءبدًا لم يضرّ هُ ذنبٌ
            “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak akan melekat pada dirinya.” (H.R Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Hakim)
            Selanjutnya Rasulullah membacakan ayat, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Q.S Al-Baqarah ayat 222)
            Ketika Rasulullah ditanya, “Wahau Rasul, apa pertanda bertobat itu.?” Beliau lalu menjawab “Meneysali kesalahan.”
            Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiadalah sesuatu yang lebih dicintai Allah selaian pemuda yang bertobat.” Oleh karena itu, tobat merupakan tingkat pertama di antara tingakatan-tingakatan atau maqom yang dialami oleh para sufi dan tahapan pertama di antara tahapan-tahapan yang dicapai oleh penempuh jalan Allah (salik).[11]
Tafsir taubat dalam surat Al-Baqarah 160
(اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا) رجعوا عن ذلك (وَأَصْلِحُوْا) عملهم (وَبَيَّنُوْا) ما كتوا (فَاُوْلَئِكَ أَتُوْبُ عَلَيْهِمْ) أقبل توبتهم (وَاَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيْمَض) بالمؤمنين.
Artinya: (Kecuali orang-orang yang tobat) artinya sadar dan kembali dari kesalahannya, (mengadakan perbaikan) mengenai amal perbuatan mereka, (dan memberikan penjelasan) tentang apa yang mereka sembunyikan itu, (maka terhadap mereka Kuterima tobatnya) (dan Aku Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang) terhadap orang-orang yang beriman.8

            Di dalam Tafsir Jalalain surah Al-Baqarah ayat 160, menerangkan tentang dimana seseorang menyadari akan kesalahanya dan kembali kepada Allah, mengenai Amal perbuatan yang sudah diperbuatnya selama ini tentang apa yang mereka sembunyikan itu terhadap orang-orang beriman.9
                Menurut Imam al-Ghazali, taubat adalah suatu usaha dari beberapa pekerjaan hati. Singkatnya taubat ialah membersihkan hati dari dosa-dosa yang sudah diperbuat, dengan niat mengagungkan Allah dan takut akan murka-Nya.[12]
            Tafsir Jalalain surah At-Tahrim ayat 66
يَا أيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا قُوا أنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَ الْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةُ غِلَاظٌ شِدَادٌ لاَّيَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَايُؤْمَرُونَ
Artinya: “Hai, orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat kasar,keras,dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS. At-Tahrim:66:6).
Penafsiran dari ayat ini di dalam Tafsir Jalalain yaitu, mengarahkan mereka kepada jalan ketaan Allah, dan orang-orang kafir menyembah seperti berhala-berhala yang mereka sembah adalah sebagian dari bahan-bahan neraka itu. Atau dengan kata lain api neraka itu sangat panas, sehingga hal-hal tersebut dapat terbakar. Berbeda halnya dengan api di dunia, karena api di dunia dinyalakan dengan kayu dan lain-lainnya. Yakni, juru kunci neraka itu adalah malaikat-malaikat yang jumlahnya ada sembilan belas malaikat, sebagaimana yang akan diterangkan nanti dalam surat Al-Muddatsir pada lafal “ghilaazhun” ini diambil dari asal kata “ghilazun qalbi”, yakni kasar hatinya sangat kerasa hantamannya  dan pada lafal “maa amarahum “ berkedudukan sebagai badal dari lafal Allah. Atau dengan kata lain, malaikat-malaikat penjaga nereka itu tidak pernah mendurhakai perintah Allah, lafaz ayat ini berkedudukan menjadi badal dari lafal yang sebelumnya, Dalam ayat ini terkandung ancaman bagi orang-orang munafik yaitu, mereka yang mengaku beriman dengan lisannya tetapi hati mereka masih tetap kafir.


Kesimpulan
            Taubat adalah penyerahan sepenuhnya dan semurni-murninya kepada Allah. Kaum Sufi memaknai taubat sebagai bagian dari tasawuf. Taubat masuk dalam maqomat, ada yang mengakatan maqom taubat adalah maqom tingkatan pertama untuk seorang salik, dan juga ada yang mengatakan maqom taubat bukanlah maqom yang pertama. Jadi ada perbedaan pandangan dari para kaum sufi dalam memposisikan maqom taubat. Jangan jadikan perbedaan sebagai suatu yang salah dan hanya berpandang hanya dirinya lah yang benar. Banyak pandangan dari kaum sufi dan banyak persepktif.
            Tafsir Taubat yang ditulis disini mengutip dari berbagai pandangan dari para mufassir para ahli tafsir. Penulis mengutip dari kitab-kitab tafsir, diantaranya: al-Misbah karya dari Abi Quraish Shihab, beliau asal Indonesia. Tafsir Ibnu Katsir dan tafsir al-jalalain.
            Mengenai tafsir, tafsir dijelaskan adalah menerangkan, mejelaskan, menyingkapkan makna lafadz agar sampai pada pemahaman yang tepat. Memahami Al-Quran tanpa tafsir adalah tindakan yang salah. Karena dengan tafsirlah mereka akan tau asbab an-nuzul, Makkiyah atau madaniyah, kenapa ayat itu diturunkan. Penulis telah menjelaskan mengenai tafsir diatas mengutip dari bukunya Guz Zuhairi Misrawi, Al-quran Kitab Toleransi: Kitab Tematik Islam Rahmatan Lil ‘alamin.
           



Daftar Pustaka
Misrawi, Zuhairi, Al-Quran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil’Alamn. Jakarta: Pustaka Oasis, 2017.
Bahri, Media Zainul, Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: penerbit Erlangga, 2010.
Schimmle, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam.terj. Sapardi Djoko Darmono, Achadiati Ikram, Chasanah Buchari, dan Mitia Muzhar. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009

Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2004

An-Naisabur, Abul Qasim Al-Qusyairy, Risalah Qusyairiyyah.terj. Lukman Hakiem. Surabaya: Risalah pustaka Gusti, 2014

Tafsir jalalain, Syaik Jalaluddin Al-Mahhali,

Tafsir Ibnu Katsir




           

           
           

           


[1] Zuhairi Misrawi, Al-quran Kitab Toleransi: Kitab Tematik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. h. 98
[2] Zuhairi Misrawi, Al-quran Kitab Toleransi: Kitab Tematik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.

[3] Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010).h. 120
[4] Annemarie Schimmle, Dimensi Mistik Dalam Islam.terj. Sapardi Djoko Darmono, Achadiati Ikram, Chasanah Buchari, dan Mitia Muzhar. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009).h. 137
[5] Annemarie Schimmle, Dimensi Mistik Dalam Islam.h. 139
[6] Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah. (Jakarta:Lentera hati, 2004).h. 261
[7] Lihat Lisanul ‘Arab, 2/ 615-617)
[8] Tafsir Al-qur’anul adzim, 4/ 191)
[9] Tafsir jalalain, 1/753)
[10] Anas bin Malik (612-712 M), dari suku Khazraj golongan kaum Anshor. Meriwayatkan 2286 hadis.
[11] Abul Qasim Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalah Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf. Terj. Lukman Hakim. (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 2014).h. 78-79
9 Ibid 82
10 Imam Al-Ghazali, Minhaj Al-‘Abidin, terj.R.Abdullah bin Nuh, h.90.


TAUBAT : Pengertian Taubat, Dalil Taubat, Macam-macam Taubat, Manfaat Taubat

TAUBAT

A.    Pengertian Taubat

            Taubat secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab يتوب – تاب   yang  berarti “kembali”. Secara istilah, taubat berarti kembali ke jalan yang benar dengan didasari keinginan yang kuat dalam hati untuk tidak kembali melakukan dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
            Ada beberapa pengertian taubat menurut Ulama diantaranya :
1.      Abu Ya’qub Yusuf bin Hamdan as-Susi “Tobat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu (Syari’at) untuk menuju pada apa yang dipuji oleh ilmu
2.      Sahl bin Abdullah “Tobat adalah hendaknya jangan melupakan dosa anda”.[1]
     
      Taubat bukan hanya meninggalkan segala hal yang tidak disukai oleh hati dan perasaan melainkan juga kembali kepada Allah SWT dari segala hal yang tidak disukai dan ridhoi oleh-Nya, termasuk hal-hal yang dianggap oleh akal sebagai sesuatu yang baik dan berguna. [2] 
            Yang dimaksud dengan taubat (at-taubah) yang akan kita bahas dalam penjelasan sederhana dalam tulisan ini adalah bertawajuh kepada Allah dengan penuh penyesalan dan rasa perih di dalam hati seraya mengakui semua kesalahan, meratap dalam penyesalan, dan tekad untuk meninggalkan kesalahan yang lalu.
B.       Anjuran untuk Bertaubat
-         Taubat pada ayat Al-Qur’an
Allah SWT mengingatkan hambanya untuk selalu bertaubat dari segala dosa-dosa dan maksiat yang telah diperbuat. Banyak firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk bertaubat diantaranya,
Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 31:
وَتُوْبُوْا اِلَى اللهِ جَمِيْعًا اَيُهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (An-Nuur: 31)[3]
Dan di ayat lain Allah berfirman:                
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا تُوْبُوْا اِلَى اللهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًا عَسَى رَبُّكُمْ اَنْ يُكَفِرَ عَنْكُمْ سَيِأَتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai (At-Tahrim : 8)[4]

-         Adapun dalam Hadis
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال‏:‏ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ‏:‏ ‏ "‏ من تاب قبل أن تطلع الشمس من مغربها تاب الله عليه‏"‏ ‏(‏‏(‏رواه مسلم‏)‏‏)‏‏.‏
        Riwayat dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “Barangsiapa bertobat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah menerima tobatnya.”                                                                                                      (HR. Muslim).[5]

وعن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال‏:‏ ‏ "‏ إن الله عز وجل يقبل توبة العبد ما لم يغرغر‏"‏ ‏(‏‏(‏رواهالترمذيوقال‏:‏ حديث حسن‏)‏‏)‏‏.‏
            Dari Abu ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khattab ra. dari Nabi saw., beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung akan menerima taubat seseorang sebelum nyawanya sampai di tenggorokan (sebelum ia sekarat)”. (Riwayat At Turmudzy).[6]
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال‏:‏ سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول‏:‏ ‏ "‏والله إني لأستغفر الله وأتوب إليه في اليوم أكثر من سبعين مرة ‏"‏ ‏(‏‏(‏رواهالبخاري‏)‏‏)‏‏.‏
            Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya saya membaca istighfar dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali setiap harinnya”. (Riwayat Bukhari).[7]


C.     Macam-macam Taubat
            Berdasarkan individu yang melakukan taubat dan kondisi mereka, para pakar telah membagi taubat menjadi tiga bagian sebagai berikut :
a.      Taubat orang awam. Yaitu mereka yang terhalang dari hakikat, adalah perasaan tidak nyaman yang muncul disebabkan pelanggaran terhadap perintah Allah al-Haqq subhanahu wa ta’ala yang terasa menyusahkan di dalam hati. Orang itu telah mengetahui dosanya dan ia pun menuju pintu pengampunan Allah SWT dengan kata-kata taubat dan istigfar
b.      Kembalinya orang-orang  khawash yang mulai sadar akan hakikat. Lalu mereka pun bertekad kuat setelah melakukan gerakan, suara, dan pikiran yang menyimpang adab-adab al-hud      ur (kehadiran bersama Allah) dan al-ma’iyyah (kebersamaan dengan Allah).
c.      Tawajuh dilakukan oleh kaum khusus diantara yang khusus (Akhashsh al-Khawash) yang selalu menjalani hidup mereka dalam cakrawala “Sesungguhnya kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur”. Mereka meninggalkan segala hal yang berhubungan dengan semua yang selain Allah Subhanahu wa ta’ala yang menjadi tabir dalam hati mereka, dalam sirr mereka, dan dalam bagian paling tersembunyi dari diri mereka.[8] 

D.    Manfaat Taubat

1.      Taubat dapat menghapuskan segala dosa
Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa siapapun yang bertaubat dengan sebenar-benarnya kepada-Nya, niscaya Dia akan mengampuni dosa-dosa orang tersebut.
2.      Taubat mengganti keburukan menjadi kebaikan
Inilah salah satu kemurahan Allah SWT terhadap hamba-Nya yang tidak pernah berputus asa dari mengharap rahmat dan ampunan-Nya. Dia berkenan untuk menjadikan taubat sebagai ‘alat barter’ untuk mengganti keburukan menjadi kebaikan.
3.      Taubat dapat mensucikan hati
Dosa itu diibaratkan sebagai noda. Ketika seseorang banyak melakukan dosa, maka didalam hatinya akan terkumpul banyak noda, dan taubat itulah yang mampu mensucikan nya. Orang yang bertaubat dengan sebenar-benarnya, niscaya hatinya akan menjadi suci.
4.      Taubat menjadi sebab keberuntungan didunia dan akhirat
Orang yang tidak mau bertaubat, pasti akan celaka, sementara orang yang mau bertaubat, menyesali kesalahannya, dan segera kembali kepada-Nya, dengan banyak melakukan perbuatan saleh, maka dia itulah orang yang beruntung.[9]








[1] Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, Risalah Gusti, Surabaya:2002 hlm.90
[2] Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, Republika, Jakarta:2013 hlm. 25
[3] Imam Nawawi, Riyadus Shalihin, PT. Karya Toha Putra Semarang, Semarang: 2004 hlm. 9
[4] Imam Nawawi, Riyadus Shalihin, PT. Karya Toha Putra Semarang, Semarang: 2004 hlm. 9

[5] Imam Nawawi, Riyadus Shalihin, PT. Karya Toha Putra Semarang, Semarang: 2004 hlm.11
[6] Ibid.,hlm.11
[7] Ibid.,hlm.9
[8] Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, Republika, Jakarta:2013 hlm. 26-27